PUTRI HUJAN

Oleh meitaWINARTO

Beberapa waktu lalu anak-anak ku datang ke negeri ini. Katanya kedatangan kami yang jumlahnya mencapai ratusan ribu dalam beberapa hari telah membawa bencana bagi sesama ciptaan yang Esa. Tapi aku melihat dari sisi yang lain bahwa memang sudah sepantasnya anak-anak ku datang, atas perintahku, pada tanah tersebut. Karena mereka semua yang berpijak di atas tanah itu sudah ternoda. Oleh noda mereka sendiri, bahkan noda para leluhur mereka. Bukan salahku jika sudah kuperingatkan sebelumnya, bahwa mereka harus mengurangi pikiran dan perbuatan negatif mereka, namun mereka semua tidak mendengarkan bisikanku yang dibawa oleh angin semilir pada malam hari, ketika mereka semua terlelap. Aku hanya melaksanakan janjiku pada tanah tersebut, janji antara kita, jauh sebelum semuanya ada.

Ketika makhluk-makhluk berkaki dua yang berpijak diatas tanah ku, suatu saat akan bersikap aneh. Pada saat itulah aku minta bantuanmu serta anak-anakmu untuk datang, dan menyelamatkan ku kembali.


Dan aku menjawab ya…

Sekarang ketika aku melaksanakan janjiku pada tanah diatas negeri itu, semua makhluk mencemoohku, menghujat, bahkan ada yang bersikap tidak peduli. Ini adalah mereka yang selamat dari jangkauan kami – aku dan anak-anakku. Hanya sedikit yang berusaha bersujud dan menangkupkan tangan untuk berdoa, berbicara padaku dan mendengarkan alasanku datang. Mereka semua memohon bagi saudara-saudara mereka yang tertimpa musibah. Aku hanya tersenyum sebentar, melihat cahaya kesungguhan dalam hati dan doa yang mereka panjatkan kepada yang Esa. Entah mereka mendengarkan dengan hati mereka atau tidak, tapi aku berbisik pada mereka, bahwa aku tahu batasan hukuman yang harus diterima oleh makhluk-makhluk ini semua, dan doa mereka pun terhenti, tapi hanya untuk hari itu saja.

Tapi aku tidak tertarik pada kemelut makhluk-makluk dewasa yang sebagian telah sadar, akan peringatan yang telah kuberikan pada mereka kali ini. Namun pandanganku tertumbuk pada makhluk-makhluk kecil yang bermain bersama anak-anak ku. Mereka benar-benar anak negeri itu, karena ketika semua makhluk dewasa berteriak celaka, makhluk-makhluk kecil bermain riang gembira. Dengan sebongkah kayu apung, dengan benda bulat yang terapung. Seakan-akan mereka tidak pernah mengalami kegembiraan seperti ini. Aku senang melihat mereka.

Siapakah aku? Banyak orang bilang aku adalah salah satu unsur paling penting dimanapun. Terutama makhluk-makhluk itu sering bergantung padaku, karena mereka tidak akan dapat hidup tanpa ada diriku. Entah dalam bentuk apapun. Aku dapat berubah sesuai dengan keinginan mereka. Tapi, jangan pernah main-main dengan diriku, jika aku digabungkan bersama anak-anakku, karena akan sangat berbahaya. Jika aku digunakan dengan niat baik, maka hasilnya akan sangat baik.

Aku tidak membanggakan diriku sendiri, namun aku telah ada sebelum kecanggihan teknologi ini hadir. Sehingga aku telah melihat berbagai macam perubahan yang terjadi di alam ini. Makhluk-makhluk itu pun mempelajari aku. Bahkan aku ada dalam berbagai macam buku yang mereka pelajari, bahkan aku ada dalam laboratorium canggih yang pernah ada di planet bumi ini. Mereka bilang aku adalah AIR, sumber kehidupan.

Karena aku ada dalam berbagai macam panggilan. Maka aku boleh memilih panggilan tersebut. Ketika aku hadir di planet ini, dalam bentuk air yang tercurah dari atas awan, terjadi karena pengumpulan beberapa uap yang naik ke atas. Lalu turunlah aku. Setelah beberapa waktu aku baru tahu, makhluk-makhluk itu, menyebut diriku hujan. Aku senang mendengarnya. Maka ketika aku berkata bahwa aku telah menemukan panggilanku, Esa pun mengabulkan dan memberikan nama Pangeran Hujan padaku. Oh! Senangnya hatiku.

Tapi itu sudah lama sekali rasanya. Tapi kenangan manis itu tetap ada. Sekarang dalam hati julukan itu, ku berikan kepada salah seorang makhluk favoritku, makhluk yang bernama anak manusia. Itulah sebutan diri mereka. Tetapi aku menjulukinya dengan nama Putri Hujan. Aku telah lama memperhatikan anak ini, namun mereka memanggilnya dengan nama lain Dinda, kependekan dari Adinda. Setiap kali aku datang menyapa, dia sepertinya mengerti bahwa aku hanya datang sebentar untuk berkunjung. Dia melihatku dengan tersenyum manis. Bahkan ketika dia masih tidak mampu berdiri diatas dua kakinya, dengan tangan mungil dan buntet, ia telah berusaha memeluk dan bermain denganku. Aku telah menyukainya. Sejak saat itu aku mencoba menaruh perhatianku padanya.

Sekarang dia pun sedang tersenyum padaku. Dan dalam hatinya ia berkata,

Aku tau kenapa engkau datang dalam keadaan seperti ini? Aku juga tau kenapa engkau tidak berbuat hal yang sama ditempat lain. Karena engkau ingin memperingatkan bangsaku kan? Orang-orang tolol yang sudah lupa dari mana mereka berasal. Aku pun tau bahwa engkau sering meminta bantuan angin malam untuk memperingatkan mereka. Hanya saja mereka memang tolol! Tapi dibalik itu semua, aku senang, karena setidaknya kedatanganmu kali ini mengobati rinduku.

Lalu ia tersenyum simpul dengan pipi kemerahan, sambil memilin ujung rambut kepangnya. Setelah itu aku pun tersenyum mengetahui bahwa dia mengerti arti kedatanganku kali ini. Lain kali akan kusampaikan padanya bahwa, aku pun rindu melihat senyumnya.

Waktu pun berlalu…

“Din! Dinda! Tunggu!” Sebuah suara berseru.

Dinda menoleh dengan enggan pada suara yang sudah dikenalnya dan memang sedang dihindarinya.

“Apalagi sih?” Ketusnya.

“Duilee…galak amir, non? Aku kan cuma manggil doang. Senyum dong…manis-manis judes banget sih? Gak laku ntar…” katanya lagi dengan kelakar aneh.

“Duh, ‘Njar aku beneran lagi buru-buru nih! Kenapa sih gak langsung pulang aja? Manggil-manggil orang, kirain ada yang penting. Gak taunya…cuma iseng. Rese deh! Sebel! Udah akh…sana pulang! Liat tuh dah mendung…rasain kalo kehujanan di jalan…”

Tanpa basa basi lagi Dinda langsung melengos pergi.

Meninggalkan Fajar bengong sendirian, sambil mengucap dalam hati,
yah…orang pengen diajak makan, malah nolak sebelum tau niat bae orang. Ya sudahlah…memang bukan rejeki mu nona manis…Katanya sambil tersenyum-senyum sendirian.

Dinda berjalan tergesa-gesa, ia berpikir bahwa aku sudah harus mengeposkan puisi ini, agar dapat dimuat dalam majalah langganan edisi bulan ini. Karna ini adalah hari terakhir. Dan si Fajar…astaga! Makhluk satu itu telah menghambat jalanku menuju halte. Yang akan membawaku ke kantor pos. Padahal sebentar lagi mereka akan tutup. Akh! Sial! Namun, ketika Dinda menengadah, dia memohon agar dapat tiba tepat waktu, dan kantor pos belum tutup. Dan janganlah engkau turun dulu, nanti saja setelah aku sudah berteduh. Katanya lagi.

Sang Pangeran tersenyum mendengar permohonan Putrinya.

Halilintar menggelegar diatas kepala Dinda, suasana pun telah mencekam. Gelap gulita. Setengah memohon dalam hati, Dinda meminta agar supir segera jalan dan tidak menunggu penumpang lain, yang memang sedang sepi. Agar ia dapat segera sampai di kantor pos. tak lama kemudian, bis pun berjalan. Dan ia tiba di kantor pos yang akan tutup 10 menit lagi. Benar-benar beruntung! Dan tak lama kemudian, hujan turun dengan deras diluar. Menghalau pandangan para pengemudi. Dan membuat para penunggang motor berhenti dibawah jembatan dan pertokoan untuk berteduh.

Si Putri tersenyum, sambil mengucapkan terimakasih dalam hati, yang memang hanya terdengar oleh si Pangeran.

“Wuah! Hujannya besar sekali! Mau tutup juga, tetep gak bisa pulang!” Ujar suara-suara didalam kantor pos.

“Nebeng aja! Sama yang punya mobil!” kata yang lain lagi.

“Iya, kalau yang ditebengin mau nganterin sampe depan rumah. Kalo gak? Sama aja bohong!” Sahut suara yang lain.

“Ada tuh yang mo nganterin sampe depan rumah!” kata laki-laki setengah baya, tak jauh dari loket.

“Siapa?” tanya Ibu muda tadi. Dengan semangat.

“Sopir taxi!” katanya lagi. Lalu disambut gemuruh suara tawa dipenjuru kantor.

Dan tanpa perasaan bersalah Dinda pun ikut tersenyum mendengarnya. Ketika si Ibu melihat pada dirinya, ia pun berkata, “Maaf…”

“Oh?! Gak apa apa toh, Mba…mereka memang suka menggoda. Karena kadang-kadang aku juga suka mendengar mereka menggoda. Serasa muda kembali.” Ujarnya lagi sambil tersenyum simpul.

Membuat wajah Dinda kembali tersenyum.

“Lagipula diluar memang hujan deras, seharusnya kantor sudah tutup, tapi sepertinya ditunda. Tunggu hujan agak reda…kasihan yang sudah ada ditengah jalan dan terjebak hujan.” Jelasnya.

Lalu Dinda membayar ongkos pengiriman.

Dan berkata, “Terimakasih, Bu.”

Tidak lupa memberikan senyumnya, dan berpikir. Baik sekali pikiran ibu itu. Sepertinya dia mempunyai keluarga yang bahagia.

Sebelum beranjak jauh, suara ibu itu terdengar lagi. “Di luar masih hujan. Bawa payung?” suaranya menghibur. “Hmm…tidak. Tapi gak apa-apa. Karena sebentar lagi hujan berhenti.” Kata Dinda padanya. Membuat wajah keibuannya sedikit berkerut di kening. Tanpa berpaling lagi, Dinda keluar dari kantor pos itu. Lalu berdiri diatas tangga, sambil menengadah ke atas. Kembali ia tersenyum dan bicara. Seperti biasa pembicaraan tertutup, hanya dapat didengar oleh Pangeran.

Aku tidak apa-apa. Aku lagi senang sehingga ingin bermain bersamamu. Tapi jangan membuatku terlalu basah, hujanlah rintik-rintik saja, sehingga orang lain pun dapat berlari-lari kecil dan berteduh. Aku sedang rindu bermain bersamamu. Sudah lama rasanya tidak bermain bersama hujan.


Matanya memancarkan kesungguhan dan kasih. Pangeran hanya tersenyum mendengarkan.
Aku tak mau baju dan sepatumu basah. Kata Pangeran penuh pengertian.
Seperti dapat mengerti keresahan hati Pangeran, Dinda pun menjawab, aku kan sudah bilang, aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin bermain sebentar. Kalo basah, sudah resiko kan? Sudahlah…ayo!!

Lalu Dinda pun menerobos hujan deras, dan seluruh badannya basah kuyup, ia tersenyum sambil menengadah, merasakan titik-titik air hujan jatuh di wajahnya. Lalu ia berjalan pulang. Selang beberapa lama, butiran air tersebut perlahan-lahan mengecil. Hingga hanya terasa bagaikan ciuman kekasih. Ketika membayangi perasaan itu, Dinda terkejut. Lalu tertawa sendiri dan berlari menuju rumah. Dengan perasaan lega dan senang. Sampai di depan pintu rumah. Hujan telah berhenti. Meninggalkan warna-warna indah di langit.

Ia berucap, “Terimakasih, Pangeran Hujanku”

Sang Pangeran hanya terbengong mendengar ucapannya. Sampai guntur kecil yang tertinggal, mengejutkannya.

Ketika sadar maka ia membalas, “Hanya demi kau, Putri Hujanku…kapan saja…”

Seperti sang Pangeran, Dinda pun merasa ada suara dalam hatinya berkata…namun ia kembali menggeleng. Mungkin hanya pikiranku saja. Ia kemudian masuk ke dalam, untuk mandi dan mengganti pakaiannya yang basah. Sambil bersenandung riang…lagu kesukaannya…Lady Rain…I see you at my window…*

Membuat Pangeran kembali tersipu.

19 Juni, 2003

*Lady Rain - Indecent Obsession

Share:

1 comments