ALEX'S EPISODE

Ia mendengar bunyi telepon genggamnya. Tapi karena sedang tanggung menulis surat elektronik penting, maka dia membiarkannya saja. Hingga berhenti berbunyi. Tidak lama kemudian, dia mendengarnya kembali...

What the...

“Halo” dengan nada tidak suka ia mengangkat, tanpa melihat layar teleponnya.
“Huuu...huuu...nggg...ggg” suara isak tangis terdengar.
“Ehmm...halo?” kemudian baru dia melihat nama yang muncul
“As? Kenapa lagi lo?”

Bukan jawaban yang diterimanya, malah suara tangis yang semakin keras dan sesugukkan.
“As, gini yah! Gue lagi ada email penting. Jadi gak bisa dengerin lo nangis doang. Entar aja telpon lagi klo lo dah bisa ngomong. Okay?! Gue tutup telpon yaahh...mwah!”

Tanpa basabasi Alexis, yang lebih suka dipanggil Alex, pun menutup teleponnya. Sedikit merasa terganggu, tapi kemudian dia kembali menatap layar 17” dihadapannya, dan kembali mengetik.

Sudah hampir sejam yang lalu, Astrid menelponnya. Tapi tidak lagi menghubungi kembali.

Tibatiba terdengar ketukan halus di depan pintu apartemennya. Diintipnya melalui lubang kaca kecil, dan dibukanya.

“Heyyy...” belum selesai dia bicara, tamunya sudah berada dalam pelukannya, dan menangis. Yeap, she's here.

“Udahh...ceeeppp...ceppp” sambil memeluk dan mengusap punggungnya, sesugukkan pun mulai memudar.

“Yuks, masuk dulu” ajaknya, digandengnya Astrid dan diberikannya segelas susu coklat panas. Yang tadi dibuatnya buat diminum sendiri. Semoga bisa sedikit menenangkan.

“Jadi? Ada apa? Klo memang belum bisa cerita, nangis dulu sampe kelar. Gue gak ngerti soalnya klo lo cerita sambil nangis keq tadi itu.”

“Matt...” hanya dengan mengeluarkan satu kalimat itu, mata Alex pun berubah.
“Apalagi sekarang? Apalagi yang dilakukan orang itu buat nyakitin lo ha? Lu emang tolol siy!” si cantik yang terlihat manis dihadapan Astrid tibatiba berubah menjadi nenek sihir bahkan merangkap ibu tiri yang kejam.

“Udah berkalikali gue bilang sama lo. Gak gunaaa, As. Lo cuma nyakitin diri lo sendiri. Gue gak mau lagi tau apa yang dia lakuin tapi lo jangan cengeng keq gini dong!”

Lagilagi Astrid cuma bisa diam menunduk, memang salahnya sendiri. Dari awal dia sudah tau resiko menjalin hubungan dengan Matt, yang notabene pria flamboyan yang tebar pesona selalu.

“Kalo sekarang emang lo kesini, mau minta pendapat gue tentang dia, salah! Salah banged! Gue malah makin gregetan sama lo!”

Sambil memperhatikan Astrid yang duduk dihadaapannya.

“Mau berapa kali lagi sih, As? Gila deh, gue sendiri gak abis pikir sama sekali!”

“Tapi Lex, gue sayang banged sama dia”

“Bullshit! Lu sinting kali yah? Iiiihhh begooo banged siy loo!” sambil menoyor Astrid, ia berjalan ke dapur.

“Lex...” panggil Astrid lagi..

Alex cuma bisa menarik napas panjang. Kembali ia terngiang ucapan salah seorang temannya sewaktu di States. Yang menjadikan dirinya seperti sekarang. Seorang yang cukup bisa diandalkan pada saat semua cara sudah tidak lagi didapat dari teman yang biasanya. Uli, namanya. Memang ada darah Indonesia dari buyutnya, tapi tetap saja setelah beberapa generasi, bahasa Indonesia sudah sama sekali tidak dikenalnya seharihari.

Dia kembali teringat rasa sakit yang ditorehkan pria sialan itu, sekian tahun lalu. Bagaimana dia sama sekali tidak berdaya, lebih baik mati rasanya. Tapi, inilah yang dikatakan oleh Uli, “Human beings are not designed to be monogamous, monoamory. So its fucking bullshit if you're with a man and you expect him to fuck only you. and its fucking bullshit if you tell me you don't wanna fuck some other men. Fucking is not about love its about fucking. its variety. No matter how much you absolutely LOVE spaghetti, every once in a while you want nasi padang or steak or seafood same fucking principle. Bitch can sit in, feel sorry for herself or she can put out and be happy both with him and without him”

Katakatanya memang vulgar sekali terdengar. Tapi, entah mengapa saat itu membangunkan sisi dalam Alex yang tidak pernah dia sangka ada. Sepertinya, itulah saatsaat terakhir dia bertemu dengan Uli, sebelum akhirnya kembali pulang ke tanah air.

“Gini deh...” sambil mengaduk minuman yang dibuatnya tadi, Alex pun keluar dari dapur.
“Sekarang gue tanya apa mau lo sama dia?”
“Pengen disayang aja, gak pengen dia sama yang lain...” ujarnya lagi

Alex pun menarik napas panjang..

“Gini deh, duluuu banged pernah ada temen gue yang bilang, lo gak bisa ngarep klo cowo tuh cuma mau sama lo doank. Dulu gue pernah bilang sama lo juga kan? Soal teori gue tentang klo gue dah nikah gue akan kasih hak veto ke laki gue itu buat cari cw lain?”

Astrid pun mengangguk

“Yang lo bilang gue sinting...?”

Sekali lagi ia pun, mengangguk, kemudian tersenyum.

“Abis siapa lagi yang punya ide segila itu selain lo, Lex?” katanya lagi

“Gue mikir tadinya lo siy, As!” kata Alex sambil tertawa

“Sialan lo, masa gue sih?” katanya ragu

“Dulu lo gak keq gini, As. Ceria, supel, banyak ketawa juga seru!”

Kembali teringat perkenalan mereka di sebuah warnet. Saat itu, sepertinya billing Astrid rusak, jadi tidak berfungsi dengan baik. Sehingga, waktu bayar tidak sesuai dengan yang seharusnya. Tapi, dia dituntut untuk bayar sesuai dengan jam yang dipakai. Disinilah Alex, membelanya.

“Eh mas, klo emang billingnya rusak, benerin! Jangan suruh konsumen tanggung jawab dong!”

Kemudian, langsung menarik Astrid keluar, kemudian mereka tertawa terbahak berdua.

“Alexis, tapi panggil aja Alex” dia mengulurkan tangannya dan menggenggam keras jemari yang disodorkan padanya.
“Astrid, tapi panggil saja As”

Kembali mereka berdua tertawa. Ah, seandainya masa itu terulang kembali.

Share:

2 comments

  1. lhaaaaa.. iki baru apik mbak..
    mak nyussss..

    aku suka kata2 hak veto itu. hwakakakaka,,,,

    BalasHapus
  2. hahaha...makasih, Mas! Kata2 itu kan emg impian semua pria beristri kayake :D

    BalasHapus