MATT'S EPISODE

Sial! Sial! Sial! Matt menggerutu sejadinya. Kenapa bisa begitu bodoh ya? Perempuan memang mahkluk menakutkan, jika mereka sudah mulai bertingkah seperti detektif.

Masih tak percaya rasanya bahwa segala hal yang dia sembunyikan dengan baik, akhirnya bisa ketauan. Antara kesal dan malu, Matt berusaha memikirkan soal Astrid. Selama ini memang perempuan itu sudah baik sekali bersikap. Salah satu bukti perempuan bodoh yang mudah dipermainkan. Tapi, Matt tidak menyangka bahwa dia bisa sampai mengorek begitu dalam mengenai rahasia mesumnya.

Kesal sekali rasanya! Kesal karena ketauan, dan juga kesal karena tidak dapat berbuat apaapa lagi mengenai hal itu. Toh, Matt masih merasa bahwa dia tidak rugi sama sekali. Perempuan yang selalu datang padanya, tanpa dia meminta koq. Jadi, apa dia salah jika mencoba mencicipi makanan yang tersedia begitu lezatnya, tanpa harus membayar? Slurp...

Disatu sisi, Matt merasa kasihan pada Astrid. Dia memang diberi status, walau dia tau sekali statusnya itu hanya sementara, dan Matt juga cuma memakainya agar Astrid merasa senang. Dengan memberikan label, dia juga secara tidak langsung mencegah Astrid untuk tidak pergi jauh darinya. Tipikal perempuan ini begitu mudah ditebak. Sekali terkena bius dari Matt maka dia tidak akan pergi lagi. Kecuali jika Matt yang memang menginginkan hal tersebut.

Seru juga sebenarnya, punya mainan. Terdengar begitu jahatkah? Memang, tapi itulah dunia lelaki. Tidak ada yang bisa begitu dalam mengetahuinya, tanpa terjerumus kedalamnya. Jika sudah masuk, maka akan banyak sekali halhal luarbiasa yang ajaib dan tak disangka terkuak.

Keluh. Apa yang harus dilakukan sekarang? Meminta maaf? Percuma rasanya. Semua sudah terjadi. Matt tau Astrid PASTI akan memaafkannya. Hanya saja, rasa percaya itu semakin memudar sekarang. Ingin sekali rasanya, berhenti bermain. Tapi, rasanya masih belum cukup. Masih belum waktunya. Masih seru bermain dan dipuja lelaki lain hebat, bisa memiliki 2 pacar, ditambah selingkuhan dan TTM s. Entah mengapa, rasa itu terkadang benarbenar menyenangkan. Tidak semua lelaki bisa seperti ini, dan beberapa teman merasa bahwa, berteman dengan Matt sepertinya keren!

Lalu, Matt melihat Astrid tampak dari kejauhan, dia berjalan menundukkan kepalanya. Terlihat sendu sekali, pasti dia habis menangis. Keluh. Hmm...susah menghadapi perempuan lagi seperti ini. Ditambah lagi, dia sedang menjadi terdakwa sekarang. Bingung.

“Hai” Matt menghampiri Astrid
“Hei” Sambut Astrid lesu

Matt menggenggam tangan mungil itu. Astrid hanya mampu menatap Matt dengan ragu dan penuh kesedihan.

“Hei, jangan menatapku seperti itu”
“Lalu harus seperti apa?”
“Entahlah” Ujar Matt

“Apakah semua itu benar?” Astrid langsung bertanya. Dia memang tidak pernah basabasi mengenai halhal seperti ini. Salah satu hal yang disukai Matt, sebenarnya.
“Iyah. Semua itu benar”
“Kenapa waktu itu ketika aku bertanya malah menjawab lain. Padahal dengan jelas aku tau, bahwa kamu akan melakukan semua itu!” kata Astrid dengan mata berkacakaca 
“Bagaimana mungkin kamu setega itu sama aku?” Astrid pun mulai terisak “dan kamu juga pernah bilang jika kamar adalah ruang paling pribadi, dan hanya orang yang dekat dan penting saja yang bisa masuk kedalamnya. Berarti dia penting? Dia spesial buat kamu? Gitu?”

Matt bingung menjawab semua pertanyaan, perempuan dihadapannya. Karena sepertinya semua itu memang pernah dia ucapkan. Tapi, entah apa yang merasukinya saat itu hingga bisa membawa perempuan lain ke kamar, ia juga tidak mampu menjawabnya. Mungkin napsu, mungkin biar mudah dan juga biar irit, tidak perlu keluar uang lagi untuk biaya hotel.

“Jawab, Matt!” Astrid mulai tak sabar

“Aku gak tau...”

“Selalu begitu! Setiap kali ditanya selalu jawaban itu yang menjadi tameng. Entah gak tau, atau lupa atau gak ingat.!”

Astrid mulai menangis tersedu. Matt memeluknya erat.

“I'm so sorry for everything” Ia pun mengelus kepala mungil dipelukannya.
“Aku sudah pernah bilang sama kamu. I'm a monster!”

“...and I'm just a fool” tandasnya lagi

“You're indeed a fool...”

Astrid membuatnya bersumpah atas nama jiwa tak berdosa, dari keponakannya yang masih belum terlahir. Bahwa dia tidak akan melakukan hal itu lagi, tanpa melepaskan Astrid terlebih dahulu.

“This is for Katleen, that's her name..” dia mengaitkan jari kelingkingnya.

I am a monster, pikir Matt lagi. Bagaimana mungkin tidak bisa menyayangi perempuan dihadapannya dengan sepenuh hati. Padahal dia begitu tulus mencintai Matt apa adanya. Keluh.

Seandainya saja...

Share:

0 comments