SUATU SENJA DI MUSIM HUJAN

Oleh meiWIN

Musim Hujan, 2001
Tetes air hujan masih terus membasahi Bumi. Membuat genangan air pada jalanan yang tidak rata. Masih saja ada orang yang lalu lalang, seakan tak peduli akan tetesan-tetesan air yang jatuh. Ada yang memakai payung, ada yang menutupi kepalanya dengan koran, ada juga yang memakai jaket tanpa pelindung kepala. Namun aku lebih suka tanpa pelindung. Merasakan seluruh tubuhku basah, oleh tetesan air hujan. Karena aku tahu bahwa sebentar lagi tetesan air ini akan berhenti. Jadi aku hanya menikmatinya saja, selagi ia turun membasahi jalanan yang berdebu. Basahi kepala dan hati yang sedang panas.

Entah sudah berapa lama aku berjalan tanpa tujuan, kubiarkan saja kakiku melangkah. Menikmati sore. Rasanya tetesan itu sudah berhenti, kutadahkan tangan untuk memastikannya. Aku kembali melangkah, sambil berharap dapat melihat pelangi setelah hujan turun. Mungkin sebentar lagi, mungkin juga tidak sama sekali. Tak terasa aku kembali lagi ketempat tadi, dimana aku mulai melangkah. Sepertinya, aku harus berhenti sebentar untuk mengambil nafas panjang. Hmmm…leganya. Bersih sekali udara sehabis hujan. Aku begitu menikmatinya. Adakah orang lain yang ikut menikmati keindahan suasana seperti ini selain diriku? Entahlah, bisa ada, bisa tidak.

Lembayung senja sudah menampakkan diri. Serasa tidak mau kalah untuk menunjukan kecantikannya setelah hujan turun. Memberikan warna jingga kekuningan diufuk Barat. Indah sekali! Seandainya aku bisa mengabadikan semuanya dalam kamera. Sayangnya, tidak aku bawa. Hanya lewat memori yang ada dikepala saja, yang tidak akan bisa dihapus, semuanya itu aku rekam dalam benakku. Kupejamkan mataku, sambil membayangkan suasana yang tercipta saat ini.

“Indah yah?”
Tiba-tiba terdengar suara bariton disebelahku, membuatku agak tersentak.
“Eh, mmm…iya…mm”
“Biasanya hanya aku sendirian disini, menikmati senja.” Ujarnya lagi.
Aku tak berkata apapun, membiarkan komentarnya mengalir.
“Tak kusangka, seorang gadis seperti kamu berani jalan sendirian, dan menemukan tempat persembunyianku.”
Katanya lagi, namun kali ini dengan menolehkan wajahnya kearahku.
“Mmm…maaf. Sepertinya tempat ini bukan milik pribadi, jika mengganggu sebaiknya saya pergi sekarang.” Jawabku membalas ucapannya.

Tanpa pamit aku langsung berjalan, untuk kembali ke tempatku. Namun, sebuah tangan tiba-tiba menahan lenganku, sehingga secepatnya aku berbalik dan memberikan sebuah pandangan tidak suka padanya.
“Maaf…” katanya, sambil melepaskan pegangannya.
Sepertinya ia mengerti maksud pandanganku padanya.
“Maaf kalo aku kurang ajar, boleh aku tau namamu?” tanyanya lagi, kali ini dengan begitu sopan.

Mungkin ia takut aku benar-benar marah dan menamparnya atas tindakannya itu. Kembali aku melihatnya, kali ini aku tidak takut untuk langsung melihat sosok orang dihadapanku ini, dengan menatap matanya. Cukup lama aku menatapnya, hingga dapat merasakan ketulusan dimatanya yaitu tatapan penuh harap atas pertanyaan yang masih belum kujawab.
“Apakah penting?” ujarku.
“Bagiku? Ya. Entah bagimu?!” katanya lagi, dengan masa bodoh.
Sambil menunjukkan senyum simpulnya.
“Apa artinya namaku bagimu?” jawabku tak mau kalah.
Tak peduli akan senyum, yang ia tujukan padaku. Entah apa maksudnya memberikan senyuman itu padaku.
“Nanti kau akan tau artinya? So, siapa namamu?” kembali ia menjawab, kali ini dengan sedikit tekanan pada nadanya. Kembali aku melihatnya. Lalu kujawab,
“Hening”

Seperti tak peduli akan kehadirannya, aku langsung berjalan setelah memberikan namaku padanya. Aku tak peduli lagi untuk menanyakan kembali siapa namanya. Terus terang aku memang tak peduli. Karena aku yakin bahwa aku akan sangat jarang bertemu dengan orang seperti dia didaerah ini. Atau bisa juga aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Lalu, aku berjalan pulang tanpa memikirkannya lagi.
Hanya terdapat perasaan nyaman dan tenang hadir mengisi relung hatiku…pertanda apakah gerangan? Biarlah…kita lihat saja nanti…
*
Kesal aku dibuatnya! Apa sih maksud makhluk satu tadi mengganggu keasikanku menikmati alam. Sudah tahu indah…yah diamlah…alam kan bisa dinikmati tanpa memberikan komentar. Errgghh…sebel!! Udah begitu sok jadi gentleman lagi. Hhhh…aku menarik nafas dalam-dalam. Katanya menarik nafas akan sedikit menghilangkan kekesalan yang ada didalam dada. Aku tidak mau hanya gara-gara orang itu sore hari yang indah setelah turun hujan akan menjadi mendung kembali karena keisengan orang lain. Kucoba kembali menarik nafas dan mengulum senyum, hmm…ternyata bisa! Kuteruskan kembali perjalanan ke kost.

Kost…hhh…kalo di ingat kembali susah juga yah, tapi yang jelas sekarang aku ada kost karena jarak rumahku ke kampus lumayan jauh. Sehingga, membuat orang dirumah, terutama Bunda khawatir, karena aku sering pulang malam, baik itu nongkrong sama teman-teman atau memang ada kelas sampai malam. Ia pikir daripada anak perempuan satu-satunya celaka, maka ia memintaku untuk mencari tempat kost. Kebetulan aku menemukan sebuah tempat kost yang lumayan asik. Kenapa lumayan? Karena aku tidak bisa menyelinapkan laki-laki ke kamar. Heheheh…rasanya tidak ada yang melarang mempunyai pikiran seperti itu, toh hanya pikiran iseng yang terlintas. Tidak dapat direalisasikan…sudahlah…jangan diteruskan.

Akhirnya sampai juga kakiku di kost tercinta ini. Bajuku basah sedikit, akibat tetesan hujan tadi itu. Tapi, toh memang sudah waktunya untuk mandi. Setelah itu bisa mengajak yang lain untuk makan malam. Senangnya hatiku. Sambil mandi, aku memikirkan menu makan malam apa yang enak untuk nanti. Sepertinya semua sama saja, hampir menu makanan sederhana sudah aku cicipi. Siomay? Bosan. Mie instant? Masa mie melulu, bisa mati rasa nanti perutku, menerima mie terus menerus. Lalu, apa ya? Sudahlah, lihat saja nanti. Yang lain mau makan kemana…toh sama saja. Belum juga selesai aku mengelap seluruh badanku, terdengar panggilan dari luar.

“Kenapa?” tanyaku.
“Mau ikut makan sama-sama?” ujar suara diluar.
“Iya! Tunggu aku yah!!” kataku lagi dengan semangat. “Jangan ditinggal..!!”

Lalu aku segera keluar dari kamar mandi dan ganti baju. Tidak lama aku dan beberapa orang teman sudah duduk dan memesan makanan. Ternyata bertemu dengan beberapa teman juga, yang sudah lebih dulu datang. Sambil menunggu kita ngobrol kesana kemari. Tiba-tiba disebelah terdengar suara orang sedang memainkan gitarnya, aku merasa bahwa aku mengenal suara orang tersebut. Jangan-jangan…tapi, sudahlah tidak perlu berpikir sejauh itu. Belum tentu dia! Semakin lama suara tersebut semakin dekat, apakah ia pengamen? Aku merasakan bahwa darah dimukaku hilang entah kemana. Ternyata memang dia! Orang yang kutemui tadi sore, sedang asik memainkan gitarnya dimeja depan, tidak jauh dari mejaku dan teman-teman. Aku berharap, bahwa ia tidak akan melihatku duduk disini dan teman-temanku pun tidak akan melihat perubahan wajahku. Sepertinya ia sudah selesai menyanyikan lagu dan beranjak pergi tanpa melihat kearahku. Hhh…aku bernafas lega. Kembali aku berusaha mengikuti percakapan yang terjadi diantara teman-temanku. Sambil menenangkan debar jantungku kembali normal, agar darah yang tadi sempat hilang dari wajahku kembali normal. Belum selesai rasanya aku mencoba untuk tenang, tiba-tiba…

“Sepertinya tadi aku melihat dia deh?” kata Putri
“Siapa?” Atet bertanya.
“Iya, siapa Put?” Reni juga ikut bertanya.
“Itu. Pengamen misterius kesayangan kita. Hehehe…” kata Putri lagi sambil tersenyum simpul.
“Yang bener?!” sahut Atet dan Reni hampir bersamaan.
“Masa aku bohong sih? Gak percaya tanya aja Hening. Iya kan?” jawabnya sambil mencari pembelaan padaku.
“Eh…apa? Yang mana?” jawabku masa bodoh. Pura-pura tidak mengerti.
“Pengamen yang tadi itu loh! Masa sih kamu gak liat?” ujar Putri tidak mau kalah.
“Ooo..yang tadi ada dimeja depan? Itu sih liat.” Kataku menjawab datar.
“Memangnya kenapa dengan dia?” tanyaku lagi ingin tau.
“Akh, gak koq. Kita cuma sering liat dia aja ngamen disini, saat makan malam. Lumayan keren loh orangnya. Hehehe…” Atet memberikan penjelasan sedikit.
“Ooo…itu.” Hanya itu yang keluar dari mulutku.

Selesai aku menanggapi itu, aku kembali melihat orang tadi. Masuk kedalam dan berjalan kearah tempatku duduk. Oh…NO!!! secara tidak sadar, aku langsung membuang muka dan pura-pura tidak melihat. Lalu menundukkan kepalaku sedikit, sehingga tidak melihat postur tubuhnya. Tapi percuma, ternyata ia memang melihatku duduk dimeja ini, dan ia mulai memainkan lagunya. Aku merasakan wajahku seperti terbakar. Sepertinya keinginanku untuk mengembalikan darah kemukaku tadi, terkabul. Entah kenapa, antara marah dan kesal, tetapi juga bukan benci padanya. Malukah aku?

Permainan gitarnya bagus. Sepertinya terlatih, selain itu juga gitar yang dipeluknya, bukan gitar asal bunyi yang layaknya dipakai oleh pengamen-pengamen lain. Ada yang lain dari gitar itu, walaupun terlihat sudah tua. Tapi suara yang dihasilkan dari sebuah gitar tua, sungguh bersih dan enak terdengar ditelingaku. Jarang sekali aku merasakan sensasi seperti ini dari seorang pengamen. Siapakah dia?

Sepertinya ia menyanyikan lagu yang dibuat olehnya sendiri atau oleh dari pencipta lagu yang tidak aku kenal. Yang jelas, aku tidak pernah mendengar lagu ini dimainkan oleh radio, video musiknya diputar oleh MTV, atau dinyanyikan oleh pengamen yang lain. Sama sekali tidak. Suaranya pas sekali dengan nada-nada gitar dan alunan itu membuat getaran yang begitu harmonis. Mungkin bisa dibilang membuat orang terlena. Aku melihat teman-temanku satu meja, terhipnotis oleh sosok, permainan dan lagunya. Siapakah gerangan yang mempunyai karisma begitu besar? Sehingga membuat orang-orang disekelilingku menoleh, atau setidaknya menikmati permainannya?

Ia tetap bermain dengan santainya, seperti tidak peduli dengan keadaan disekelilingnya. Seakan-akan ia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian banyak orang. Satu hal yang membuatku bingung adalah, ia bernyanyi sambil tetap menatapku. Tanpa melepaskan sedikitpun pandangannya untuk orang lain. Maksudnya apa sih? Aku juga sudah tidak peduli lagi dengan pandangan matanya itu, selain itu aku juga tertolong dengan datangnya makanan yang kupesan. Jadi aku menikmati saja santapan makan malamku, nyanyiannya aku anggap sebagai hiburan atau selingan tambahan agar sajian dihadapanku semakin sedap.

“Eh…cuek banget sih kamu?” tanya salah satu temanku.
“Sepertinya dia nyanyi khusus buat kamu deh, Ning?” kali ini Atet berkomentar.
“Biar saja. Aku toh gak minta dia untuk nyanyi!” kataku ketus.
Tapi seakan tidak peduli ia tetap saja menyanyi dan menyanyi. Rasanya permainannya tidak akan selesai. Jika aku ingin jujur, aku juga masih ingin tetap mendengarnya memainkan gitar tersebut. Apa? Akh!! Tidak…tidak…ini tidak boleh terjadi. Langsung kutepis jauh-jauh pikiran ku tadi. Tapi secara tidak sengaja aku ingin melihat wajahnya, dan kulihat ia tersenyum puas! Bukan senyum seorang laki-laki yang terpesona oleh seorang perempuan. Tetapi sepotong senyuman yang dapat memberikan arti bahwa AKU MENANG! Senyuman meledek! Yah, itu dia! Senyuman meledek…dan ia telah meledekku tanpa orang lain tahu, dan aku juga tahu bahwa ia sengaja melakukannya. Kurang ajar…awas kau!! Tak akan kubiarkan orang seperti kau melakukan hal ini padaku.

Sudah tak selera rasanya untuk menghabiskan makanan dihadapanku ini. Tapi tidak boleh dibuang, harus kuhabiskan. Perutku tidak pantas disiksa hanya karena orang gila yang sedang main gitar itu. Lalu, tanpa diharapkan tiba-tiba suara itu berhenti, dan semua orang didalam rumah makan itu langsung bertepuk tangan untuknya. Iiiihhhh…kesal!! Lalu, ia berjalan kearahku, tetap tidak peduli dengan semuanya, seolah-olah ia hanya melihat diriku saja. Aku ingin bangun dari tempatku, tapi rasanya kakiku tidak dapat diangkat. Kaku sekali. Sebel!!kenapa disaat seperti ini malah mereka tidak bisa diajak bekerja sama dengan otakku…errrgghh!

Ia lalu menggunakan kesempatan itu untuk memberikan sesuatu padaku, sambil membisikkan,
“Kamu tidak dapat sembunyi dariku, sebab kamu adalah belahan jiwaku…”
setelah itu ia pergi dan tidak menoleh kembali, uang yang disediakan oleh semua orang yang mendengarkan nyanyiannya dibiarkannya saja, ia hanya memberikan ucapan terima kasih dan senyumannya pada mereka. Lalu hilang…entah…kemana…seperti ditelan bumi.
Teman-temanku heboh! Aku tak tahu lagi harus menjawab mereka apa, sepertinya aku mendengar suara nyamuk berdengung ditelingaku. Aku terganggu oleh suara ceracau mereka. Ok! Aku harus segera pergi dari tempat ini…
“Maaf…aku duluan yah!” kataku tegas.

Dan aku tidak peduli lagi dengan jawaban-jawaban mereka yang berusaha menahanku. Kubayar makanan tadi, dan aku berjalan pulang. Hhhh…lega rasanya, menghirup udara malam, yang menyisakan hujan. Untuk sementara, aku tidak ingin memikirkan kejadian tadi, dan apa maksudnya. Aku sudah pusing dan bosan untuk berpikir hari ini. Suntuk!!
Tiba dikamar, langsung kurebahkan diriku dan kupejamkan mataku…tanpa ada pikiran apapun. Kupejamkan mataku, sambil menarik nafas dalam-dalam. Lega sekali…kemudian aku bangun, dan mengganti bajuku dengan baju tidur. Namun, sesuatu terjatuh dari pakaianku. Aduh…apa lagi sih? Kuletakkan bajuku ditumpukan baju kotor lainnya, lalu kembali ketempat tidur dan membuka kertas itu.

Isinya ternyata sebaris puisi, prosa atau apalah aku juga tidak mengerti, yang jelas tulisan itu bagiku hanya sekedar ungkapan perasaan seseorang. Aku tahu kertas ini pasti diselipkan orang gila itu padaku, ketika ia membisikkan sesuatu tadi. Tapi apa maksudnya?

Ketika Raga dan Sukma menyatu,

Jadilah Aku…Jiwa.

Ketika Sunyi dan Senyap menyatu,

Jadilah Engkau…Hening.

Ketika Jiwa dan Hening menyatu,

Maka belahan jiwa pun menjadi satu.

Kupejamkan sekali lagi mataku, seakan tak percaya membaca tulisan ditanganku. Jadi namanya Jiwa? Pantas semua orang seperti tersihir mendengarnya menyanyi, mendengar namanya saja aku sudah merinding dibuatnya. Bagaimana mungkin dia bilang aku adalah belahan jiwanya? Sedangkan bertemu saja baru sekarang…dan tiap kali melihatnya semua perasaan bercampur menjadi satu. Susah sekali melukiskan perasaan itu, mungkinkah yang ia bicarakan benar? Gila! Sepertinya kalau aku tidak lekas-lekas tidur, aku akan gila seperti dia…
Jam dikamar hampir menunjukan pukul 24.00, saatnya bagiku untuk tidur…kumatikan lampu, dan kuletakkan sobekan kertas tadi di meja belajarku, dan aku pun terlelap…menantikan hari esok yang lebih indah…
***


[Minggu, 7 Oktober 2001]

Share:

0 comments